Hubungan Karakteristik Ibu Dalam Pola Asuh Terhadap Pertumbuhan Bayi Usia 6-12 Bulan

KARYA TULIS ILMIAH  (KTI)


           PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN
                                   POLITEKNIK KESEHATAN YAPKESBI
SUKABUMI
2010
                                                     ABSTRAK
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DALAM POLA ASUH TERHADAP PERTUMBUHAN BAYI USIA 6-12 BULAN DI DESA SEKARWANGI KECAMATAN CIBADAK  KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2010
  
Nama : NINI INDRAWATI
                                                                                                                                    Nim    : 0290106A08180

viii + 5 BAB = 58 Halaman + 10 Tabel + 1 Bagan + 10 Lampiran
     Masa pertumbuhan bayi usia 0-6 bulan membutuhkan asupan gizi yang diperoleh melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Analisis situasi ibu dan anak yang menyangkut upaya peningkatan pemberian ASI hingga kini masih belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Dari hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, bayi yang diberi ASI eksklusif sampai empat bulan sebanyak 55,1 %. Sedangkan bayi yang diberi ASI eksklusif sampai enam bulan sebesar 39,5 % (Depkes, 2005). Provinsi Jawa Barat mendapatkan gambaran status gizi balita BB/TB tahun 2009 yaitu: gizi baik 65,7 %, gizi kurang  5,3%  dan gizi buruk 3,4 %. Di desa Sekarwangi gizi kurang 15,2 %, gizi buruk       2,9%, (Puskesmas, 2009).
Pada masa 6 – 12 bulan membutuhkan asupan gizi yang tidak cukup hanya dengan ASI saja, karena produk ASI pada usia ini semakin berkurang, sedangkan kebutuhan bayi semakin meningkat seiring bertambahnya umur, oleh karena itu  bayi harus mendapat makanan pendamping ASI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik ibu dalam pola asuh  dengan pertumbuhan bayi usia 6-12 bulan di Desa Sekarwangi Kecamatan Cibadak  Kabupaten Sukabumi.
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dan analisa data yang dilakukan uji Chi Square  dengan tingkat kepercayaan 95 % dan α = 0,05. Populasi dari penelitian ini adalah 96 ibu yang mempunyai bayi usia 6-12 bulan, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling.
Dari hasil penelitian dengan pengukuran antropometri (BB/U) diperoleh status gizi baik 85,4 %, gizi kurang 9,4 %, dan gizi buruk 2,1%.
     Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka disarankan pada petugas kesehatan khususnya untuk lebih meningkatkan pendidikan dan penyuluhan tentang kesehatan dan gizi bagi ibu bayi dan balita.

Kata Kunci      :Status gizi bayi, Hubungan Karakteristik Ibu, pola asuh, 
               Pertumbuhan Bayi
Daftar Pustaka:  (2000-2010)
Website            : 1










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Masa pertumbuhan bayi usia 0-6 bulan membutuhkan asupan gizi yang diperoleh melelui pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Analisis situasi ibu dan anak yang menyangkut upaya pengingkatan pemberian ASI hingga kini masih belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan.
Meskipun pemberian ASI dapat menghemat pengeluaran,tetapi pelaksanaan di lapangan masih rendah. Dari hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2002-2003, bayi yang diberi ASI eksklusif sampai empat bulan sebanyak 55,1 %. Sedangkan bayi yang dberi ASI eksklusif sampai enam bulan sebesar 39,5 % (Depkes, 2005).
Rendahnya pemberian ASI eksklusif dikeluarga menjadi salah satu pemicu rendahnya status gizi bayi. Pada tahun 2005 dari jumlah 5 juta balita, (27,5 %) mengalami kekurangan gizi. 3,6 juta anak balita (19,2 %) mengalami gizi kurang dan 1,5 juta balita (8,3) % mengalami gizi buruk, sehingga menimbulkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak dikemudian hari yang disebut dengan “lost generation” (Soekirman, 2005).
Hasil penelitian para pakar menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan bayi antara lain disebabkan karena kekurangan gizi sejak bayi,pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini atau terlalu lambat. Makanan pendamping ASI tidak cukup mengandung energi atau zat gizi mikro, terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai dan yang tidak kalah pentingnya adalah ibu tidak berhasil memberi ASI eksklusif kepada bayinya (Depkes, 2005).
Status gizi kurang dan gizi buruk terjadi hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Dari 440 kabupaten/kota masih terdapat 110 kabupaten/kota gizi kurang dan gizi buruk dengan prevalensi 30 % (berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini masih tergolong sangat tinggi. Jumlah kasus gizi buruk di Indonesia yang meninggal dunia dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2005 sebanyak 286 balita.pada bulan Juni 2005 kasus gizi buruk yang meninggal paling tinggi yaitu sebanyak 107 kasus, sedangkan di bulan Desember 2005 kasus gizi buruk yang meninggal dunia sebanyak 54 kasus (Depkes, 2005).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan RI Tahun 2007, misalnya prevalensi gizi buruk yang berada diatas rata-rata nasional (5,4 %) ditemukan pada 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang menunjukkan bahwa sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang diatas prevalensi Nasional sebesar 18,4 %, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat,Aceh,Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan papua (Depkes, 2008).
Masa pertumbuhan bayi 6-12 bulan membutuhkan asupan gizi tidak cukup hanya dengan pemberian ASI saja,karena produki ASI pada usia ini semakin berkurang. Sedangkan kebutuhan gizi bayi semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan berat badan, oleh karena itu bayi harus mendapatkan makanan pendamping ASI (Depkes, 2006).
Pemberian makanan pendamping ASI bertujuan untuk menutupi kekurangan zat gizi yang terkandung di dalam ASI sehingga dalam penyajian makanan pendamping ASI sangat dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan ibu tentang jenis dan cara pengolahan makanan bayi sesuai dengan kebutuhan zat gizi bayi. Apabila pengetahuan ibu kurang terhadap hal tersebut, maka bayi dapat terjadi kekurangan gizi (Krisnatuti, 2006).
Menurut Nursalam (2005) yang mengutip pendapat Soetjiningsih, pola pertumbuhan dan perkembangan secara normal antara anak yang satu dengan anak yang lainnya pada akhirnya tidak terlalu sama, karena dipengaruhi oleh interaksi banyak faktor.Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal (genetika dan hormon) dan eksternal (prenatal dan pasca natal).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Masdiarti (2000) yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi anak balita di Kecamatan Hamparan Perak, memperlihatkan hasil bahwa anak yang berstatus gizi baik yang ditemukan pada ibu bukan Pekerja (43,24 %) dibandingkan pada kelompok ibu pekerja (40,54 %).
Sedangkan menurut Sihombing (2005) yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi balita di Kecamatan Medan Sunggal memperlihatkan hasil bahwa, semakin tua umur ibu dan semakin tinggi pendidikan ibu, serta ibu tidak bekerja maka pola pengasuhannya semakin membaik.
Pengasuhan merupakan kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada masa bayi,anak masih akan benar-benar tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan, kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak. Pola pengasuhan tidaklah sama bentuknya setiap keluarga, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor yang mendukungnya, antara lain latar belakangpendidikan ibu, pekerjaan ibu, status gizi ibu, jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Perbedaan karakteristik ibu yang mengakibatkan berbedanya pola pengasuhan akan berpengaruh pada status gizi anak. Beberapa penelitian berkesimpulan bahwa status pendidikan seorang ibu sangat menentukan kualitas pengasuhannya (Suparno, 2000).
 Provinsi Jawa Barat mendapatkan gambaran status gizi balita BB/TB tahun 2009 yaitu: gizi baik 65,7 %, gizi kurang 5,3 %  dan gizi buruk 3,4 %. Jumlah balita gizi buruk di jawa barat masih jauh di bawah rata-rata nasional sekitar 20%, Hal ini menunjukkan prevalensi status gizi balita masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional. Demikian juga halnya di Kabupaten Sukabumi, status gizi balita diperoleh gizi baik 85,57 %, gizi kurang 11,91 % dan gizi buruk 1,25 (Sumber : Laporan Dinkes Kab.Sukabumi Sie Gizi : 2009).


Kumpulan Karya Tulis Ilmiah Terlengkap Hanya ada disini 

Download  Selengkapnya 
Just Klik Here  Download

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar